Berawal dari viralnya foto di bawah ini, yang memperlihatkan pembuatan sumur galian di dekat pier jembatan layang yang kabarnya berada di wilayah Kelapa Gading, Jakarta Utara.

Foto tersebut memancing banyak perdebatan dan diskusi serta pertanyaan di group-group WA, dari group orang awam hingga group-group WA sarjana teknik sipil. Dan juga timbul beberapa pertanyaan yang diarahkan kepada saya di group sarjana teknik sipil. Berikut beberapa pertanyaan tersebut dan tanggapan saya.

  1. GTL gimana kegiatan diatas?

GTL: “No comment tanpa melihat pelaksanaan tiang maupun lubang2 resapan itu. Secara umum kalau dua2nya direncanakan dan  dilaksanakan dengan baik. Mestinya no problem.”

Pertanyaan di atas menimbulkan komentar dari salah satu anggota group sbb:

  • Kalau pemancangan tiang pancangnya betul2 mencapai tanah keras (end bearing), pondasi jembatan tol tidak akan turun walaupun kena gerusan air dari sumur resapan. Kalau pemancangan tiang nya hanya berdasarkan skin friction atau anggapan tanah kerasnya ternyata batu besar, ini yg berbahaya. Krn itu pelaksanaan pemancangan hrs benar2 mencapai tanah keras dgn jalan melakukan banyak sondir (DCP).

GTL: “Tepatnya, penurunan pondasi tidak akan masalah oleh datangnya air dari resapan di wilayah yang ada di foto tsb. Mengapa? Karena setahu saya air tanah di wilayah itu cukup tinggi, yaitu sedalam 1-2m saja,  atau mungkin terdalam hanya kurang dari 3m dari permukaan jalan. Yang akan bermasalah adalah apabila tanah di sekitar tiang berupa tanah kering dan merupakan tanah yang berpotensi turun akibat air (misalnya pasir halus berlanau bersifat lepas = loose fine silty sand). Jenis tanah ini cederung turun bila dari kondisi kering lalu terkena air dalam jumlah besar. Nah dalam kondisi ini sekalipun ujung tiang dipancang sampai tanah keras. Tetap akan ada potensi bahaya, sebab saat tanah di sekeliling tiang turun dan tiang tidak bisa turun karena ujungnya berada di tanah keras. Maka akan ada beban tambahan pada tiang akibat gesekan dari turunnya tanah di sekitar tiang. Gaya ini dalam bahasa teknik pondasi disebut sebagai Drag Force atau Negatif Skin Friction. Nah kalau tiang tidak diperhitungkan terhadap drag force ini dan  di desain dengan faktor keamanan yang kecil maka bisa ada potensi bahaya juga. Darimana potensi bahaya itu? Sebagaimana disebutkan di atas, tarikan ke bawah dari drag force itu akan menambah beban kepada tiang. Jika iumlah beban pondasi dari beban jembatan dan drag force mendekati atau melebihi kapasitas batas pondasi (termasuk kapasitas ujung tiang), maka pondasi bisa turun berlebihan atau bahkan roboh. Tentunya pier jembatan otomatis akan ikut mengalami kegagalan. Jadi belum tentu tiang dipancang hingga tanah keras tidak berpotensi terhadap bahaya.”

Mungkin penjelasan di atas akan menimbulkan pertanyaan tambahan, yaitu: “Bagaimana jika tiang nerupakan tiang friksi?”. Nah, dalam kondisi tanah yang sama dengan uraian di atas dan dalam hal tiang friksi dengan kapasitas tahanan ujung yang kecil,   pondasi tiang dan tanah akan turun relatif dalam besaran yang sama. Jika pondasi pier jembatan ini turun, maka tentunya akan terjadi perbedaan penurunan (differential settlement) antara pier jembatan. Perbedaan penurunan ini jika melampaui apa yang diijinkan dalam desain,  tentunya struktur jembatan juga akan mempunyai potensi gagal, dari potensi gagal fungsi hingga berpotensi roboh.

Jadi secara umum. Sejauh desain pondasi di pier jembatan layang yang berada di tanah datar itu dan sudah mempertimbangkan masalah-masalah diatas dan di desain dengan kaedah-kaedah geoteknik dan struktur tiang dengan benar, begitu juga dengan galian dan konstruksi sumur resapannya, ya mestinya tidak akan masalah terhadap pondasi jembatan.

Catatan tambahan: istilah sondir sebagai DCP itu tidak tepat. Sondir dalam istilah bahasa Inggris disebut sebagai CPT = Cone Penetration Test. Sedangkan DCP = Dynamic Cone Penetration. Dua hal yang tidak sama. CPT dilakukan penekanan dengan cara menggunakan tekanan hidrolik. DCP dilakukan dengan memberi pukulan di atas.

  • Soil investigation harus sondir dan deep boring. Sondir tidak bisa mendeteksi adanya lapisan lensa.

GTL: “Betul harus ada boring itu mutlak. Tetapi tulisan bahwa Sondir (CPT) tidak bisa menembus lensa tidak tepat. Hal ini tergantung kapasitas sondir yang dipakai. Kalau  sondir standar dengan kapasitas maksimal 2.5 ton ya tidak bisa. Tapi ada sondir berkapasitas 10 ton dan 20 ton. Nah sondir kapasitas besar ini dapat menembus lensa dengan ketebalan dan kekuatan tertentu. Namun, memang sedikit sekali soil investigator yang punya alat sondir kapasitas besar.”

Selanjutnya timbul lagi pertanyaan sbb:

  • Kalau lubang sumur resapan terlalu dekat dgn pondasi tiang, apakah tdk mengurangi daya dukung friksi pada pondasi tiang?

GTL: “Berapa kedalaman tiang pancang? Berapa ketebalan pile cap. Dimana elevasi kepala tiang? Dimana dasar sumur resapan? Itu harus tahu baru dapat berkomentar. Tentunya kalau panjang tiang misalnya hanya 12m. Lalu sumur resapan sedalam katakanlah 6m. Dan jarak galinya cuma kurang dari 8 kali diameter tiang. Maka itu pasti akan berpengaruh terhadap pondasi tiang. Jadi semua harus ada data baru bisa komentar. Termasuk data tanahnya. Tanpa itu berarti memberi komentar secara membabi buta. Dan komentar seperti itu tidak bijaksana tentunya.”

Penutup: Saya juga mengingatkan jawaban saya di atas bukan berarti saya menjadi pendukung posisi pasang sumur resapan seperti itu, maupun di tempat lainnya. Dan juga bukan berarti saya menentang sumur resapan. Itu soal lain lagi.  Ada yang bisa positif. Dalam arti kata sedikit banyak ada manfaat. Namun juga ada yang mubazir karena dipasang di lokasi yang tidak tepat. Tulisan terkait konsep sumur resapan ini pernah saya sampaikan dalam tulisan berjudul: “ZERO RUNOFF-Mungkinkah” tertanggal 10 Februari 2021.

GTL, 210228